Membaca Perjanjian Lama dengan Sungguh-Sungguh
Alunea Renungan Agustus 17, 2025.
Kita tidak pernah kehilangan rasa cinta pada sebuah cerita yang baik, bukan? Ada sesuatu yang memikat, sesuatu yang menarik, dan sesuatu yang benar-benar unik dalam cerita-cerita terbaik. Cerita itu melibatkan pikiran sekaligus hati kita. Cerita membuat kita berempati pada pengalaman orang lain. Cerita juga membuka kesempatan untuk belajar dari kehidupan orang lain.
Komunikator terbesar sepanjang masa, Yesus Kristus, menggunakan cerita untuk menyampaikan kebenaran tentang Allah, tentang hidup kita, dan tentang dunia ini. Ia sering memilih cerita ketika berhadapan dengan kerumunan orang yang beragam, yang lapar akan pengajaran-Nya. Kadang Ia menggunakan cerita untuk menyelubungi pesan, sementara di lain waktu Ia memakainya untuk menjelaskan dan menggambarkan kebenaran. Cerita adalah salah satu gaya komunikasi favorit-Nya.
Itu seharusnya tidak mengejutkan. Sebagai seorang anak Yahudi, Yesus mendengar kebenaran tentang Sang Pencipta dan sejarah luar biasa umat-Nya disampaikan dalam bentuk cerita melalui pembacaan dan pembelajaran Kitab Perjanjian Lama. Cerita adalah sarana penting untuk mewariskan iman dalam tradisi Yahudi.
Di zaman kita sekarang, kisah-kisah menakjubkan ini terlalu sering tetap tersembunyi di dalam “halaman putih” Alkitab kita—halaman yang jarang sekali tersentuh sehingga masih terlihat baru. Dalam banyak Alkitab, bahkan halaman-halaman itu masih menempel. Betapa disayangkan, sebab ada keindahan yang tak lekang oleh waktu dalam kisah-kisah besar di Perjanjian Lama. Allah, dalam hikmat-Nya sebagai Sang Pencipta, tahu persis bagaimana manusia bekerja ketika Ia mewahyukan penulisan Perjanjian Lama: kita lebih mudah mengingat kebenaran ketika disampaikan dalam bentuk cerita.
Dalam perjalanan imanku bersama Kristus, aku menemukan bahwa tidak ada yang sebanding dengan Perjanjian Lama untuk menolongku memahami siapa Bapa Surgawi kita, Allah yang hidup. Melalui Perjanjian Lama, aku pertama kali belajar mengenal siapa Allah itu dan apa yang Ia lakukan.
Ketika kita membuka halaman awal kitab Kejadian, kita bertemu dengan Allah pada saat penciptaan dunia, ketika karya tangan-Nya terbentang di langit dan bumi. Beberapa halaman kemudian kita menyaksikan hubungan pribadi-Nya dengan manusia, sejak saat pertama Adam dan Hawa diciptakan. Kita melihat tangan-Nya ketika Ia menjangkau bangsa-bangsa dan memilih Abraham. Dari satu orang inilah Allah membentuk sebuah bangsa untuk menyandang nama-Nya, menjadi saksi bagi mukjizat-mukjizat-Nya, dan membawa pesan-Nya ke dunia. Saat kita membaca tentang kegagalan bangsa Israel, kita melihat kasih setia dan belas kasih Allah ketika Ia dengan sabar menuntun mereka. Keinginan Allah untuk menebus umat-Nya, meski mereka sering memberontak, selalu hadir dalam halaman-halaman cerita ini. Dan melalui kidung agung dalam Mazmur, kita belajar menaikkan pujian yang penuh semangat kepada Bapa Surgawi kita.
Indah, bukan? Namun kenyataannya, masih terlalu banyak orang Kristen masa kini yang merasa gentar dengan Perjanjian Lama. Apakah halaman-halamannya di Alkitabmu sudah rapuh karena jarang dibuka? Apakah masih menempel satu sama lain? Aku ingin mengajukan satu tindakan dan satu pendekatan agar kita bisa lebih menghargai kitab-kitab dari Kejadian sampai Maleakhi.
Pertama, bacalah dan pelajarilah sebanyak mungkin tentang sejarah dan budaya Perjanjian Lama. Tafsiran, ensiklopedia, dan atlas bisa memperdalam pemahaman kita akan Firman Allah sehingga kisah-kisah Perjanjian Lama menjadi hidup. Allah sudah mengaruniakan sebagian orang untuk meneliti, menulis, dan mengajar melalui buku-buku. Manfaatkanlah! Bacalah tulisan mereka dan perluas wawasanmu. Tujuan kita bukan untuk menjadi sombong dengan pengetahuan, tetapi agar kita semakin mengenal Allah dengan lebih dalam.
Kedua, jika kamu ingin benar-benar menghargai Perjanjian Lama, lepaskan “lingkaran cahaya” dari atas kepala setiap tokoh di sana. Hilangkan auranya—bukan rasa hormat, tetapi auranya—yang membuat kita merasa jauh dari para Abraham, Daud, Elia, atau Daniel. Kalau tidak, kita akan menempatkan mereka terlalu jauh sehingga gagal melihat diri kita dalam kehidupan mereka. Benar, mereka hidup di zaman yang berbeda—lebih sederhana, lebih keras, jauh dari kenyamanan modern—tetapi mereka adalah manusia biasa seperti kita. Mereka menghadapi pergumulan hidup, sering tidak mengerti masa depan, bahkan kadang bingung dengan keadaan sekarang, sama seperti kita. Mereka pun bertanya-tanya tentang makna hidup, sama seperti kita melakukannya hari ini. Jadi, lepaskanlah “halo” itu agar kita bisa melihat tokoh-tokoh Perjanjian Lama sebagaimana Allah menciptakan mereka: manusia.
Kisah mereka adalah kisah kita juga. Mereka berjuang untuk mempercayai Allah dan taat kepada-Nya, sama seperti kita. Dan karena kisah mereka diilhamkan oleh Allah, kita menemukan di dalamnya hikmat yang menghidupkan, yang membawa kita masuk dalam hubungan dengan Tuhan, serta menuntun kita di jalan yang sudah Ia rancangkan bagi hidup kita.
Entah bagaimana dengan Anda, tetapi bagi saya, itu terdengar seperti alasan yang luar biasa untuk membaca Perjanjian Lama dengan sepenuh maknanya.
Judul artikel asli : Reading the Old Testament for All It’s Worth