Yesus Menyembuhkan Orang Kusta: Mujizat, Kasih, dan Iman yang Mengubahkan
Alunea Renungan 25 Agustus 2025.
Mujizat-mujizat yang dilakukan Yesus dalam pelayanan-Nya di bumi selalu menyimpan pesan rohani yang dalam. Bukan hanya menunjukkan kuasa-Nya sebagai Anak Allah, tetapi juga menghadirkan kasih, pemulihan, dan pengharapan bagi manusia yang terhilang. Salah satu kisah mujizat yang sangat menyentuh hati adalah penyembuhan seorang penderita kusta, sebagaimana tercatat dalam Injil Matius 8:2–3, Markus 1:40–42, dan Lukas 5:12–13.
Kisah ini bukan sekadar catatan tentang kesembuhan fisik, melainkan juga sebuah gambaran teologis yang kuat mengenai kuasa Yesus yang sanggup memulihkan, kasih-Nya yang melampaui batas sosial, serta panggilan bagi orang percaya untuk datang kepada-Nya dengan iman. Artikel ini akan membahas latar belakang penyakit kusta dalam konteks Alkitab, perjalanan iman orang kusta tersebut, jawaban Yesus, serta korelasinya dengan kehidupan iman Kristen masa kini.
Latar Belakang Penyakit Kusta di Zaman Alkitab
Apa itu kusta dalam konteks Alkitab?
Pada zaman Alkitab, istilah kusta tidak hanya merujuk pada penyakit lepra seperti yang dikenal dalam dunia medis modern, tetapi juga mencakup berbagai penyakit kulit yang menular dan sulit disembuhkan. Dalam Imamat 13, kita menemukan peraturan yang sangat rinci tentang cara mengenali dan memperlakukan orang yang terkena kusta.
Penyakit ini dianggap menular dan berbahaya, sehingga siapa pun yang mengalaminya harus dipisahkan dari komunitas. Kondisi ini menyebabkan penderitaan bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional dan sosial.
Dampak sosial dan religius kusta
Kusta membawa stigma yang sangat berat pada zaman itu. Seorang penderita harus mengenakan pakaian yang terkoyak, menutup wajahnya, dan berteriak “Najis! Najis!” setiap kali ada orang mendekat (Imamat 13:45–46). Mereka dikeluarkan dari perkemahan Israel, dijauhkan dari keluarga, dan tidak bisa ikut serta dalam ibadah di Bait Allah.
Artinya, kusta bukan hanya penyakit medis, melainkan juga status sosial dan religius yang memalukan. Seorang penderita kusta hidup dalam keterasingan, kesepian, dan putus asa.
Simbol kusta sebagai gambaran dosa
Lebih dalam lagi, kusta sering dilihat sebagai simbol dosa dalam kehidupan rohani. Sama seperti kusta membuat tubuh rusak dan mengasingkan seseorang dari komunitas, dosa merusak jiwa manusia dan memisahkannya dari Allah. Inilah sebabnya kisah penyembuhan orang kusta oleh Yesus memiliki makna rohani yang kuat: hanya Yesus yang sanggup menyembuhkan dosa dan memulihkan hubungan manusia dengan Allah.
Kisah Yesus Menyembuhkan Orang Kusta
Ayat-ayat Alkitab yang menceritakan mujizat ini
Kisah penyembuhan orang kusta tercatat dalam tiga Injil sinoptik:
- Matius 8:2–3: “Maka datanglah seorang yang sakit kusta kepada-Nya, lalu sujud menyembah Dia dan berkata: ‘Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.’ Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata: ‘Aku mau, jadilah engkau tahir.’ Seketika itu juga tahirlah orang itu dari kustanya.”
- Markus 1:40–42: Markus menekankan belas kasihan Yesus yang begitu besar.
- Lukas 5:12–13: Lukas menambahkan detail bahwa orang itu “penuh kusta,” artinya kondisinya sudah parah.
Respons orang kusta: iman dan kerendahan hati
Yang menarik, orang kusta itu datang dengan iman yang luar biasa. Ia tidak berkata, “Apakah Engkau sanggup menyembuhkan?” melainkan, “Jika Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.”
Kalimat ini menunjukkan dua hal penting:
- Ia percaya penuh akan kuasa Yesus.
- Ia berserah sepenuhnya pada kehendak Yesus.
Sikap ini adalah teladan doa yang benar: iman penuh, tetapi tetap rendah hati menundukkan diri di bawah kehendak Allah.
Respons Yesus: kasih dan kuasa penyembuhan
Yesus menjawab dengan kalimat yang penuh belas kasih: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Tetapi bukan hanya kata-kata, Yesus juga menjamah orang kusta itu.
Tindakan menjamah orang kusta adalah hal yang mengejutkan. Dalam hukum Taurat, orang yang menyentuh penderita kusta dianggap najis. Namun Yesus, Sang Kudus, tidak menjadi najis karena sentuhan itu. Justru kuasa-Nya yang kudus mengalir dan menyucikan orang kusta tersebut.
Inilah gambaran kasih Yesus: Ia rela melintasi batas sosial, stigma, dan hukum manusia demi menyatakan kasih Allah yang memulihkan. Seketika itu juga, orang kusta itu menjadi tahir.
Pesan Teologis dari Mujizat Ini
Kuasa Yesus atas penyakit dan keterbatasan manusia
Mujizat ini menunjukkan bahwa Yesus berkuasa atas segala penyakit. Tidak ada yang mustahil bagi Dia. Apa yang dianggap mustahil oleh manusia, menjadi mungkin di tangan Yesus.
Kasih Yesus yang melampaui batas sosial dan budaya
Yesus tidak takut dengan stigma masyarakat. Ia menunjukkan bahwa kasih Allah lebih besar dari diskriminasi, pengucilan, atau batas-batas buatan manusia.
Mujizat sebagai tanda Kerajaan Allah hadir
Kesembuhan ini adalah bukti nyata bahwa Kerajaan Allah hadir melalui Yesus. Di mana Yesus hadir, di situ ada pemulihan, kasih, dan kehidupan baru.
Penyembuhan fisik dan pemulihan spiritual
Mujizat ini bukan hanya menyembuhkan tubuh orang kusta, tetapi juga memulihkan identitas sosial dan rohaninya. Ia bukan lagi orang yang terasing, melainkan bagian dari komunitas dan penerima kasih karunia Allah.
Korelasi dengan Kehidupan Iman Kristen Masa Kini
Datang kepada Yesus dengan iman
Seperti orang kusta, kita dipanggil untuk datang kepada Yesus dengan iman. Banyak orang saat ini menghadapi “penyakit batin” berupa rasa bersalah, luka masa lalu, atau dosa yang membelenggu. Hanya Yesus yang sanggup menyembuhkan.
Kasih yang menjamah: panggilan bagi orang percaya
Orang Kristen dipanggil untuk meneladani Yesus dengan mengasihi tanpa batas. Kita dipanggil untuk menjamah mereka yang tersisihkan: orang miskin, orang sakit, orang yang terpinggirkan. Kasih bukan hanya kata-kata, tetapi tindakan nyata.
Yesus menyembuhkan luka batin dan dosa
Kusta bisa dipahami sebagai simbol dosa. Sama seperti kusta membuat manusia terasing, dosa memisahkan kita dari Allah. Tetapi melalui karya salib Yesus, kita dimurnikan, diampuni, dan dipulihkan.
Gereja sebagai komunitas pemulihan
Gereja seharusnya menjadi tempat penerimaan, bukan pengucilan. Sama seperti Yesus merangkul orang kusta, Gereja dipanggil untuk merangkul mereka yang terluka, terbuang, atau dianggap hina oleh dunia.
Aplikasi Praktis dalam Kehidupan Sehari-hari
- Mengembangkan iman yang berserah – Belajar berdoa seperti orang kusta: “Jika Engkau mau, Engkau dapat…”
- Hidup dalam kasih tanpa batas – Menunjukkan kasih nyata kepada orang yang sulit dikasihi.
- Menjadi agen pemulihan – Menolong mereka yang terluka secara fisik, emosional, maupun rohani.
- Menjaga hidup kudus – Menyadari bahwa hanya Yesus yang bisa memurnikan hidup kita.
Renungan
- Apakah saya sungguh percaya bahwa Yesus sanggup memulihkan hidup saya?
- Bagaimana saya bisa menunjukkan kasih Yesus kepada orang-orang yang terpinggirkan?
- Adakah bagian hidup saya yang seperti “kusta rohani” dan perlu diserahkan kepada Yesus?
Kesimpulan
Kisah Yesus menyembuhkan orang kusta adalah lebih dari sekadar catatan penyembuhan medis. Itu adalah gambaran kasih Allah yang nyata, kuasa Yesus yang melampaui keterbatasan manusia, dan panggilan bagi kita untuk hidup dalam iman serta kasih.
Orang kusta datang dengan iman yang sederhana: “Jika Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” Dan Yesus menjawab dengan kasih yang besar: “Aku mau, jadilah engkau tahir.”
Hari ini, pesan itu masih berlaku. Yesus berkata kepada setiap kita yang datang dengan iman: “Aku mau, jadilah engkau tahir.”
Pertanyaan
- Siapakah yang disembuhkan Yesus dari kusta? Seorang penderita kusta yang datang kepada Yesus dengan iman, sebagaimana tercatat dalam Matius 8:2–3, Markus 1:40–42, dan Lukas 5:12–13.
- Mengapa Yesus menjamah orang kusta? Yesus ingin menunjukkan bahwa kasih-Nya melampaui stigma sosial dan bahwa kuasa-Nya menyucikan, bukan dinajiskan.
- Apa arti mujizat Yesus menyembuhkan orang kusta bagi kita sekarang? Itu adalah tanda bahwa Yesus sanggup menyembuhkan luka fisik, emosional, dan dosa manusia.
- Apakah kusta selalu melambangkan dosa dalam Alkitab? Tidak selalu, tetapi dalam banyak pengajaran rohani, kusta dilihat sebagai simbol kondisi dosa yang merusak dan mengasingkan manusia dari Allah.